Belajar dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
Nabi Ibrahim AS adalah seorang ayah sekaligus seorang hamba Allah yang lurus, berhati lembut, lagi penyantun. Beliau seorang Nabi dengan teladan kepemimpinan yang mencerahkan. Sedangkan sang anak, Nabi Ismail AS, adalah seorang anak yang sabar dan berbakti kepada kedua orang tua; dan tentunya juga taat kepada Allah SWT.
Nabi Ibrahim AS menikah dengan Siti Sarah sudah cukup lama–bertahun-tahun—namun belum dikaruinai seorang anak pun. Beliau telah lama mengidamkan hadirnya seorang anak. Kemudian oleh Siti Sarah, Nabi Ibrahim dipersilakan untuk menikah lagi dengan Siti Hajar yang tak lain adalah seorang pembatu bagi keluarga Ibrahim. Dan akhirnya beliau mendapatkan seorang anak hasil pernikahannya dengan Siti Hajar dan diberinya nama Ismail. Beliau merasa senang dan tenang bersama sang buah hati. Beliau melihat Ismail menikmati masa kanak-kanaknya dan menemani kehidupannya dengan tentram dan damai. Tetapi kemudian, Ibrahim bermimpi dalam tidurnya. Beliau menyembelih anak satu-satunya itu. Ibrahim pun menyadari bahwa itu adalah perintah dari Allah SWT
Kita bisa membayangkan betapa Nabi Ibrahim tengah diuji Allah SWT. Anak satu-satunya yang telah lama beliau nantikan kehadirannya hingga usia beliau hampir 100 tahun, pada akhirnya harus dikorbankan atas perintah Allah dengan cara disembelihnya sendiri. Bagaimanakah sikap Nabi Ibrahim menghadapi perintah tersebut? Nabi Ibrahim adalah seorang rasul. Maka beliau tidak ragu-ragu dalam memahami dan menerima perintrah tersebut. Tidak ada kekacauan dalam pikiran beliau sehingga beliau tidak melakukan protes atau mencoba bertanya kepada Allah untuk meminta klarifikasi. Misalnya dengan bertanya, ”Kenapa ya Allah, harus saya sembelih anak tunggal saya ini?”
Tidak ada pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Yang ada pada Nabi Ibrahim AS adalah penerimaan total, keridhaan yang mendalam, ketenangan dan kedamaian yang luar biasa. Itulah sebabnya Nabi Ibahim AS mendapat berbagai macam gelar seperti: ulul azmi (orang yang sangat sabar), khalilullah (kekasih Allah),hanifan muslima (orang yang lurus yang berserah diri kepada Allah SWT), abul anbiya (bapak para nabi), dan sebagainya.
Kisah bagaimana Nabi Ibrahim AS melaksanakan perintah Allah SWT bisa kita simak sebagaimana termaktub dalam Al-Quran Surat Ash-Shaffat, ayat 102:
Artinya: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”.
Ayat tersebut merupakan perintah dari Allah SWT agar Nabi Ibrahim menyembelih Ismail yang belum cukup dewasa atau masih anak-anak karena baru berusia kurang dari 14 tahun. Maka Nabi Ibrahim sebagai orang tua bertanya kepada Ismail bagaimana pendapatnya tentang perintah tersebut sebagaimana dikisahkan dalam bagian ayat berikutnya:
يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
Artinya: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”.
Ayat tersebut merupakan perintah dari Allah SWT agar Nabi Ibrahim menyembelih Ismail yang belum cukup dewasa atau masih anak-anak karena baru berusia kurang dari 14 tahun. Maka Nabi Ibrahim sebagai orang tua bertanya kepada Ismail bagaimana pendapatnya tentang perintah tersebut sebagaimana dikisahkan dalam bagian ayat berikutnya:
فَانظُرْ مَاذَا تَرَى
Artinya: “Maka pikirkan, apa pendapatmu tentang perintah itu”.
Pertanyaan Nabi Ibrahim kepada Ismail ini sebenarnya mengandung pelajaran berharga bahwa seorang ayah atau orang tua tidak ada jeleknya, bahkan sangat bagus, memberikan hak bertanya atau mengemukakan pendapat bagi anak-anaknya berkaitan dengan masa depan mereka. Apalagi menyangkut soal hidup dan mati. Dengan kata lain, ini sesungguhnya pelajaran tentang demokrasi atau musyawarah dimana dialog untuk mencapai persepsi yang sama diperlukan untuk meraih tujuan baik yang akan dicapai bersama. Dengan cara seperti ini tentu keikhlasan untuk menerima sebuah keputusan bisa dicapai dengan baik secara bersama pula. Maka tidak mengherankan ketika memberikan jawaban kepada Ibrahim , Ismail menjawab dengan jawaban yang sangat bagus, penuh kesabaran dan keikhlasan sebagai berikut:
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Dengan ketaatan kepada Allah SWT yang luar biasa sebagaimana ditunjukkan Nabi Ibrahim dan Ismail, maka Allah berfirman kepada Nabi Ibrahim sebagaimana termaktub dalam Surat As-Shaffat, ayat 104 -105 sebagai berikut:
Artinya: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu; sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang- orang yang berbuat baik”.
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah hanya menghendaki ketundukan dan penyerahan diri Nabi Ibrahim AS, sehingga tiada lagi tersisa dalam diri beliau kecuali ketaatan kepada Allah. Nabi Ibrahim meyakini tidak ada perintah yang lebih berharga dan lebih tinggi daripada perintah Allah SWT. Nabi Ibrahim rela mengorbankan segalanya, termasuk yang paling berharga, yakni Ismail dengan pengorbanan yang penuh keridhaan, ketenangan, kedamaian, dan keyakinan akan kebenaran. Maka, Allah kemudian menebus putra itu, Ismail–dengan seekor hewan sembelihan yang besar.
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Artinya: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu; sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang- orang yang berbuat baik”.
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah hanya menghendaki ketundukan dan penyerahan diri Nabi Ibrahim AS, sehingga tiada lagi tersisa dalam diri beliau kecuali ketaatan kepada Allah. Nabi Ibrahim meyakini tidak ada perintah yang lebih berharga dan lebih tinggi daripada perintah Allah SWT. Nabi Ibrahim rela mengorbankan segalanya, termasuk yang paling berharga, yakni Ismail dengan pengorbanan yang penuh keridhaan, ketenangan, kedamaian, dan keyakinan akan kebenaran. Maka, Allah kemudian menebus putra itu, Ismail–dengan seekor hewan sembelihan yang besar.
Dengan peristiwa inilah, kemudian dimulailah sunnah berkurban pada shalat Idul Adha hingga sekarang. Disembelihnya hewan-hewan kurban menjadi pengingat kita atas kejadian besar tersebut. Peristiwa itu akan terus menyibak tabiat keimanan yang kita genggam supaya kita lebih paham mengenai bagaimana kita berserah diri seutuhnya kepada Allah SWT; bagaimana kita taat kepada Allah dengan ketaatan yang penuh keridhaan. Semua itu agar kita makin mengerti, bahwa Allah tidak hendak menghinakan manusia dengan cobaan. Pun tidak ingin menganiaya dengan ujian. Melainkan, Allah menghendaki agar kita bersegera memenuhi panggilan tugas dan kewajiban secara total. Namun demikian, Allah mengingatkan kita dalam Surat Al Hajj ayat 37:
Artinya:”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”.http://www.nu.or.id/post/read/80766/khutbah-idul-adha-belajar-dari-nabi-ibrahim-dan-nabi-ismail
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”.http://www.nu.or.id/post/read/80766/khutbah-idul-adha-belajar-dari-nabi-ibrahim-dan-nabi-ismail